Rabu, 20 Februari 2013

TITIK


            Nama bagiku tidak terlalu penting. Tak selebihnya sebatas kata sebagai objek penanda saja. Kalimat-kalimat itu selalu merasuk dalam pikiranku dan seolah-olah ingin membujuk untuk meyakinkanku. Jika nama tak terlalu penting bagiku, tapi yang terpenting menurutku adalah sosok yang ada dibalik nama tersebut. Anehnya tidak dengan kumpulan huruf yang membentuk sebuah kata sekaligus nama, yaitu “Cinta”. Entah mulai kapan kata sekaligus nama itu menjadi sangat spesial dihati. Mungkin apakah ketika aku mulai mengenal dan mencintainya?. Atau mungkin ketika pengkhianatan yang dilakukan olehnya?. Ah.... sama saja menurutku.
            Sementara itu aku sendirian duduk dibawah pohon. Angin pun tak ingin menjadi kawan dalam kesunyianku. Apalagi sang mentari yang sudah tak bersahabat dari sejak pagi. Nyanyian-nyaian burung pun tak sanggup untuk mengobati luka jiwa ini. Tiba-tiba aku disadarkan oleh ocehan-ocehan sampah yang mengatas namakan cinta terlontar tanpa makna. Mata ku pun tertuju pada sepasang kekasih yang sedang mengumbar kata-kata cinta. Aku hanya tersenyum kecut oleh teman intelektualku itu. Ku palingkan kepalaku ini dan mendapatkan hal yang sama pula. Entah berapa banyak teman mahasiswaku yang sama sedang asyik mengumbar kata-kata cinta. Mungkin bagi sang kekasih kata-kata itu bak bagaikan petuah-petuah bijaksana yang terlontar dari para pujangga cinta. Mereka tak tahu bahwa dirinya semua masih terbelenggu oleh sihir-sihir cinta. Sihir-sihir cinta yang mana membuat orang tiada hirau bahwa semua cinta mereka dapat sirna tanpa makna. Aku pun tertawa terbahak-bahak bagikan orang gila. Orang-orang disekelilingku menatap bagaikan srigala yang ingin menerkam dengan buasnya. Dengan wajah-wajah sinis mereka pergi menjauh meninggalkanku seraya mereka mencibir bagaikan emak-emak yang sedang asyiknya bergosip. Aku tak memperdulikan sekelilingku. Ku perkuat suara tawa sekeras guntur untuk dapat menyadarkan orang-orang disekelilingku yang telah terkena guna-guna oleh cinta. Namun celaka sihir cinta dengan kuat merasuk dalam hatinya. Sehingga mereka menganggapku seolah-olah aku menganggap kata-kata cinta mereka tak ubahnya sampah-sampah jalanan tanpa makna.
            Karena kecintaanya pada sang bulan, sang mentaripun beranjak pulang kepreduannya. Dilanjutkan Sang Kuasa dengan bait-bait cinta-Nya memanggil dengan penuh cinta. Mendengar panggilan cinta dari-Nya aku bangkit untuk bertemu dengan Dia mengadukan apa yang telah terjadi hari ini. Tentang cinta. Tentang pengkhianatan. Tentang orang-orang yang mencibir tentang kepedulianku kepada diri mereka. Semuanya ku adukan pada Sang pemilik cinta Raja dari Maha Raja para pujangga cinta.
            Keesokan hari ditempat yang sama aku duduk di bawah pohon cinta. Sang anginpun masih belum mau menjadi kawan dalam kesendirianku. Apalagi sang mentari masih tak peduli akan kepahitanku. Sementara sang alampun mengumpulkan burung-burung untuk dijadikanya paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu cinta. Nyanyian itu bagiku tak ubahnya bagaikan nyanyian kematian yang dikumandangkan dari mortir-mortir serdadu Israel terhadap Palestina. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh handphone yang berbunyi nyaring. Dengan segera aku mengngkatnya.
“Halo, . . .assalamualaikum”, terdengar suara wanita disana.
“Waalaikumsalam”, jawabku.
“Wahai pujangga apakah engkau masih tak peduli akan cinta yang fana?”, tanya seorang wanita disana dengan tiba-tiba.
“Tentu, aku tak akan pernah merubah komitmenku tersebut!. Walaupun ada seribu dewi cinta seperti dia datang untuk meyakinkanku dan seribu malaikat cinta sujud dihadapanku ataupun seribu penyair cinta mengumandangkan ribuan kata cinta aku tak akan pernah membuka hati untuk cinta yang fana!”, jawabku dengan tegas.
“Apakah karena pengkhianatan olehnya sehingga engkau mengubah arah berlayarmu itu?”, tanyanya lagi.
“Tepat sekali, aku tak akan pernah percaya lagi oleh cinta yang fana yang pada akhirnya hanya berujung kekecewaan saja”, jawabku lagi.
“Kemanakah angin yang dulu berhembus menghembuskan daun-daun yang kering dan kemana pula pelangi yang tiba-tiba muncul ditengah indahnya sang mentari?”, dia bertanya lagi.
“Karena kefanaan itulah sang anginpun tak mau lagi menghembuskan daun-daun kering itu dan kefanaan pulalah sang pelangi  tak mau muncul kembali”, jawabku ringan.
“Lantas siapakah yang telah melahirkanmu wahai pujangga?”, tanyanya.
“Orang tuakulah yang telah melahirkanku”.
“Apakah mereka mencintaimu?”.
“Benar, mereka sangatlah mencintaiku”, jawabku simpel.
“Mengapa mereka mencintaimu?”, tanyanya terus-menerus.
“Karena itulah bentuk komitmen mereka”, jawabku simpel lagi.
“Alasan apa mereka mencintaimu?”, tanya dia kembali.
“Mereka tak mempunyai alasan untuk mencintaiku. Tak berbeda seperti embun yang tak mempunyai alasan untuk mencintai dedaunan, atau seperti halnya hujan yang tak mempunyai alasan untuk tetap mencintai bumi dengan tetesan-tesan air yang dimilikinya serta seperti Tuhan yang tak mempunyai alasan untuk tetap mencintai hamba-hamban-Nya”, aku jawab dengan penuh panjang lebar.
“Jika memang semuanya fana dan dapat berakhir mengapa embun, hujan, Tuhan, serta kedua orang tuamu tetap saja mencintaimu walaupun kamu bersifat fana?”, selalu berusaha meyakinkanku.
“Karena pengkhianatan yang telah merubahku seperti ini!”, jawabku pasrah.
“Jangan pernah pengkhianatan itu kamu jadikan alasan untuk merubahmu!”, dia memojokanku.
“Memang faktalah yang mengatakan seperti itu. Sebagai contoh seekor kupu-kupu yang pada mulanya mencintai sekuntum bunga dan tiba-tiba bunga itu layu akankah kupu-kupu itu tetap bertahan kepadanya?”, mencari dalil-dalil pembenaran.
“Baiklah kalau seperti itu, berapa banyak kamu telah mengkhianati kepercayaan kepada kedua orang tuamu?. Berapa banyak kamu telah menyakiti perasaannya?. Tapi mereka tetap percaya kepadamu dan sabar untukmu. Lalu berapa banyak kamu telah mengkufuri berbagai macam kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya. Tapi Dia dengan sukarela masih saja memberikan nikmat-nikmat-Nya. Karena apa?. Karena cinta yang mereka miliki. Walaupun begitu cinta yang fana harus tetap kamu miliki, sebab itu bagaikan mesin penggerak dalam setiap kehidupan manusia untuk dapat mencapai segala harapan yang dinginkan di dunia yang fana ini!. Ketika mesin itu rusak bahkan lenyap dalam diri manusia maka manusia tak akan dapat mencapai harapan yang dinginkannya. Manusia akan menjadi pesimis akan suatu hal!”, katanya dengan penjelasan yang sangat panjang.
“Inilah bentuk kekritisanku terhadap cinta!”, ku tegaskan kepadanya.
“Bukan!. Itu bukanlah bentuk kekritisanmu terhadap cinta melainkan bentuk kebencianmu terhadap cinta. Sehingga menjadikanmu bukanlah pejuang cinta namun tak selebihnya akan pengkhianat-pengkhianat cinta”, dia semakin menyudutkanku.
“Maaf, sebenarnya siapakah kamu wahai wanita?”, akupun berbalik bertanya kepadanya.
“Aku adalah dewi cinta yang berusaha meyakinkan kepada pujangga cinta akan sebuah realita cinta yang fana”, jawabnya.
            Tak terasa hampir satu jam aku bercakap-cakap dengannya lewat telepon. Sebelum sempat aku bertanya lebih jauh kepada dirinya, akhirnya dia mengakhiri obrolan denganku. Akupun merenungi setiap kata demi kata yang dikatakan oleh wanita itu. Baru pertama kali aku menemui seorang wanita sebijak itu selain ibuku. Sebelum percakapan itupun diakhiri olehnya ia sempat mengatakan sesuatu kepadaku “Bahwa pelaut yang ulung tidak akan lahir tanpa ombak yang besar. Namun, pelaut ulung lahir dalam sebuah ombak dan badai yang besar!”. Aku pun tahu kalimat itu ditujukan untuk siapa.
            Bait-bait cinta kembali memanggilku. Aku beranjak pergi meninggalkan pohon cinta menuju masjid Al Hurriyah untuk bertemu Raja dari pemilik cinta. Aku ceritakan semuanya kepada Dia apa yang telah terjadi seraya ku memohon kepada-Nya untuk dipertemukan dengan wanita bijak itu. Aku sangat penasaran dengan dirinya. Mengapa dia tahu segala kisah yang telah aku alami. Dari mulai kisah cinta itu sampai dengan kisah pengkhianatan yang dilakukan olehnya. Apakah dia mengenalku. Ataukah aku mengenalnya. Siapakah sosok wanita itu sebenarnya. Seraingkaian kalimat-kalimat itu muncul dipikiranku. Tiba-tiba ada sebuah pesan dari nomor tadi masuk ke handphoneku.
“Sekarang kamu dimana wahai pujangga?”, tanyanya lewat pesan sms.
“Saya sedang berada dipelataran masjid Al Hurriyah di Institut Pertanian Bogor”, kataku dalam pesan sms.
“Tunggu aku disana ya?”, pintanya.
“Iya, akan aku tunggu disini”, mengiyakan permintannya.
            Jika dia menyuruhku untuk menunggunya disini menunjukan bahwa wanita itu pastilah salah seorang mahasiswi dikampus ini pula. Aku lantas terus berpikir siapakah sosok yang ada dibalik wanita itu. Tiba-tiba aku melihat ada seorang wanita cantik berhijab dengan membawa sesuatu yang nampaknya ku kenal dan ia menuju kearahku. Assalamualaikum wahai pujangga. Masihkah kamu mengalku. Seorang wanita cantik yang duduk disebelahku didalam bis menuju ketempat tujuan kita masing-masing. Namun sayang aku tak sempat menanyakan namanya karena ia begitu nyenyaknya tertidur. Aku beranjak dari tempat dudukku dan kulihat dia masih tertidur dengan pulasnya. Lalu akupun keluar dari bis dan ku tinggalkan ia disana entah dengan siapa namanya. Iya, aku mengenalmu dan bukankah kalimat-kalimat tadi adalah milikku yang sempat ku tuliskan dalam sebuah buku. Nampaknya bukankah itu punyaku. Benar ini memanglah punya mu yang telah terjatuh ketika kamu mau keluar daei bis kata kondektur menjelaskannya kepadaku. Lantas dia menitipkannya padaku seolah-olah dikiranya kamu adalah temanku. Akupun bingung bagaimana caranya mengembalikan buku ini kepada mu. Kemudian dengan begitu lancangnya aku membuka setiap lembaran dari buku itu. Ku temukan sebuah identitas beserta nomor telepon milikmu. Karena perjalananku masih jauh menuju tujuan yang kutuju tak kuasanya aku untuk membaca satu-persatu kisah-kisah yang ada dalam bukumu ini untuk mengusir awan kejenuhan yang sedang melandaku saat itu. Ku baca semuanya dari awal sampai dengan sebuah kisah terakhir tentang wanita cantik dengan hijab itu. Apakah wanita itu adalah aku wahai sang pujangga. Bukan jawabku. Tiba-tiba ku lihat wajahnya yang cantik berbalut hijab itu berubah kecewa. Kemudian ku katakan kepadanya bahwa wanita itu adalah Dewi Cinta yang mana telah menyadarkanku dengan petuah-petuah cintanya tentang arti cinta yang sesungguhnya. Lantas ku lihat senyuman diwajahnya. Kisah-kisah ini menjadi pelengkap dalam buku harianku yang telah dibawakan oleh sang Dewi Cinta atas segala rencana yang telah digariskan oleh Sang Penguasa cinta. Titik.

By Bhatara Kaman Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar